Analisis Penafsiran Ayat-ayat Gender: Perbandingan antara Tafsir Tahlili dan Tafsir Feminis

Oleh : Ifa Nur Rofiqoh 

NO

MASALAH

NO SURAT DAN AYAT

BUNYI AYAT AL-QUR’AN

TAFSIR TAHLILI

TAFSIR FEMINIS

1

Penciptaan perempuan

Q.s An-Nisa’/4: 1

ياأيّها النّاس اتّقوا ربّكم الّذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبثّ منهما رجالا كثيراونساء واتّقواالله الّذى تساءلون به والأرحام انّ الله كان عليكم رقيبا

 

Mayoritas ulama’ memahami kata nafs wahidat di tafsirkan dengan diri yang satu (Adam), kemudian istrinya diciptakan dari Adam itu. Timbulnya penafsiran tersebut dipengaruhi oleh sebuah hadis Nabi yang menegaskan bahwa perempuan diciptakan Allah dari tulang rusuk, yang artinya: “sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan yang paling bengkok dari tulang rusuk itu adalah yang paling atas. Oleh karenanya, jika kamu paksa meluruskannya, dia akan patah dan (sebaliknya) jika kamu membiarkannya, dia akan selalu bengkok”. (Ibnu Katsir, 1992: 553).

Para ulama’ klasik menafsirkan ayat tersebut sesuai dengan hadis itu, sehingga terbentuklah opini bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam; bahkan al-Zamaksyari yang dianggap sebagai mufassir muktazilah yang rasional menganut paham ini.

Riffat Hasan, membantah anggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, pemahaman ini serupa dengan penafsiran Yusuf Ali, kata nafs wahidat berarti a species, a nature, a similarity. Riffat Hasan berpendapat bahwa perempuan dan lelaki diciptakan dari bahan yang sama. Ajaran yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk bertentangan dengan al-Qur’an. Karena al-Qur’an sendiri tidak pernah menjelaskan secara eksplisit (qoth’i) bahwa istri Adam diciptakan dari tulang rusuknya, al-Qur;an hanya berkata: “Tuhan menciptakan darinya istrinya”. Jadi tidak pernah menyebut kata tulang rusuk. Pada ayat-ayat lainnya lafadh nafs tidak menunjuk kepada diri Adam secara khusus, melainkan menunjuk kepada berbagai pengertian sesuai dengan konteks pembicaraan, seperti ‘jiwa’, ‘jenis atau bangsa’, sebagaimana yang terdapat dalam surat Yusuf/12: 53, al-Fajr/89: 27, at-Takwir/81: 14, al-Infithor/82: 7, an-Nahl/16: 72, ar-Rum/30: 21, at-Taubah/9: 128 dan lain-lain. Dari uraian diatas jelaslah bahwa perempuan menurut al-Qur’an bukan diciptakan dari tulang rusuk Adam, melainkan dari unsur yang sama dengan unsur Adam yaitu tanah.

Penafsiran lain juga sependapat dengan Riffat Hasan seperti Muhammad Rashid Ridho. Dalam Tafsir Al-Mannar, Ridho mengesankan bahwa tradisi pemahaman yang mempersepsikan Hawa dari tulang rusuk kiri Adam, bukan bersumber dari al-Qur’an tetapi pengaruh ajaran Kitab Suci sebelumnya, “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (kejadian 2:21) niscaya pendapat keliru tidak pernah terlintas dalam benak seorang muslim. Dan pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Fatimah Mernissi dan Muhammad Iqbal.

2

kepemimpinan

Q.S An-Nisa’/4: 34

الرَجال قوَامون على النَساء بما فضَل الله بعضهم على بعض وبما انفقوا من اموالهم

Qurthubi cenderung menafsirkan ayat tersebut dengan melihat aktivitas laki-laki sebagai pencari nafkah, penguasa, hakim dan juga tentara. Sementara Ibnu Abbas secara khusus menafsirkan kata qawwamun sebagai pihak yang memiliki kekuasaan atau wewenang. Al-Zamakhsyari, seorang tokoh mu’tazilah terkemuka menegaskan baha kata itu berarti laki-laki, wajib ber-amar ma’ruf nahi munkar kepada perempuan, sebagaimana penguasa kepada rakyatnya. Jadi laki-laki diyakini sebagai makhluk yang berkuasa. Tafsir lain mengatakan bahwa ayat itu bertujuan untuk mengatur mekanisme intern dalam keluarga, bukan kepemimpinan bagi dunia publik. Karena yang dimaksud dengan ar-rijal itu suami-suami, dan an-nisa’ adalah istri-istri. Wajar jika suami menanggug beban nafkah keluarganya, menjadi kepala keluarga. Namun bukan berarti istri menjadi terjajah, apalagi jika istri juga ikut bertanggung jawab terhadap tegaknya ekonomi keluarganya.

Fazlur Rahman berpendapat bahwa ayat itu bukan penegasan perbedaan hakiki, tetapi fungsional. Artinya jika istri dapat mandiri dibidang ekonomi, atau paling tidak dapat memberi konstribusi bagi keluarganya, maka keunggulan suami otomatis akan berkurang.

Dan menurut Amina Wadud Muhsin, kata qawwamun tidaklah dimaksudkan menegaskan superiorotas melekat pada setiap laki-laki. Yang dilebihkan Allah adalah sebagian mereka atas sebagian yang lain. Dan ini realitas sejarah, bukan normatif sehingga ayat ini berlaku umum, artinya, kelebihan yang dimiliki oleh sebagian laki-laki atas lelaki yang lain dapat berlaku juga dikalangan perempuan atas perempuan yang lain. Oleh karena itu, kedudukan suami sebagai kepala keluarga pun masih patut dipertanyakan jika realias yang mendukungnya kurang memadai.

Jelas sekali bahwa al-Qur’an memuji ratu Balqis dari negeri Saba, yang artinya, menurut al-Qur’an tidak ada larangan bagi tampilnya pemimpin perempuan di berbagai arena, sampaipun memimpin bangsanya. Sebab jika sekiranya Allah melarang tampilnya perempuan menjadi pemimpin, tentu tak akan ada cerita semacam itu dalam al-Qur’an.

3

Hak waris

Q.S an-Nisa’/4: 11

 

 

يوصيكم الله فى اولادكم للذّكز مثل حظّ الأنثيين فان كنّ نساء فوق اثنتين فلهنّ ثلثا ما ترك

Ibnu Katsir, mufassir klasik. Setelah melihat ayat tersebut. Ia menulis argumen sebagai berikut: Allah memerintahkan kepada kalian untuk berbuat adil pada mereka, karena orang-orang jahiliyah dahulu menjadikan seluruh warisan hanya untuk kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuan tidak mendapatkan sama sekali, lalu Allah memerintahkan untuk menyamakan diantara mereka dalam masalah asal waris, walaupun kedua belah pihak berbeda jumlah penerimaannya, seperti laki-laki mendapat dua bagian perempuan, hal ini disebabkan laki-laki diberi beban memberi nafkah.

Selanjutnya Quraish Shihab menegaskan bahwa laki-laki dibebankan oleh agama membayar mahar, membelanjai istri dan anak-anaknya, sedangkan perempuan tidak demikian. Maka bagaimana mungkin al-Qur’an dan Sunnah akan mempersamakan bagian mereka? Bahkan, boleh jadi tidak keliru pendapat asy-Sya’rawi yang menyatakan bahwa jika berbicara tentang  kepemihakan, maka sebenarnya al-Qur’an lebih memihak kepada perempuan yang lemah itu daripada lelaki.[1]

Fazlur Rahman menawarkan suatu metode pemahaman/penafsiran al-Qur’an secara kontekstual, yakni memperlakukan al-Qur’an secara utuh kemudian memahaminya dengan mempergunakan teori hermeneutik. Memang, secara tekstual bagian perempuan adalah separo dari bagian laki-laki. Tetapi perlu diingat, pada waktu itu, yakni sebelum turunya ayat tadi, perempuan di Arab tak pernah diperhitungkan sebagai pewaris. Jika kemudian al-Qur’an memberi bagian (biarpun hanya ½), itu berarti sudah merupakan prestasi. Dan pada waktu itu rumusan lebih tepat, sebab jika tiba-tiba dari yang semula tidak diperhitungkan kemudian diberi bagian yang sama dengan lelaki, hanya akan menimbulkan frustasi dikalangan lelaki, dan hal ini berbahaya bagi Islam. Apalagi perempuan Arab pada umumnya tidak memiliki tanggung jawab sebagaimana perempuan Indonesia masa kini.

Apabila direnungkan lebih jauh, sebenarnya perbedaan pembagian harta warisan satu berbanding dua (1:2) sebagaimana disyariatkan oleh Islam seperti ditegaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’/4: 11, tidak didasarkan status seseorang, melainkan atas tugas dan tanggung jawab. Dalam hal ini, kaum laki-laki mendapat beban jauh lebih berat daripada yang dipikulkan di atas pundak perempuan.

4

poligami

Q.S an-Nisa’/4: 3

 

 

وان خفتم الاّ تقسطوا فى اليتمى فانكحوا ما طاب لكم من انّساء مثنى وثلث وربع فان خفتم الاّ تعدلوافواحدة أوماملكت ايمانكم ذلك أدنى  الاّ تعولوا

Metode tahlili menyimpulkan bahwa teks ayat tersebut di atas mengizinkan poligami, yaitu seorang laki-laki boleh kawin lebih dari satu sampai empat, asal yang bersangkutan mampu berlaku adil.

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (Q.S An-Nisa`/4: 129)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”

Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.

Persoalan pembolehan poligami dalam ayat al-Qur’an surat an-Nisa’/4: 3 adalah salah satu isu yang dianggap oleh Amina Wadud Muhsin bias nilai-nilai keadilan gender. Menurutnya ayat ini menerangkan tentang perlakuan terhadap anak yatim, dimana sebagian wali laki-laki yang mempunyai tanggung jawab untuk menglola kekayaan harta anak yatim perempuan, namun kebanyakan mereka tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim tersebut. Maka ayat tersebut merupakan solusi yang dianjurkan untuk mencegah penyalahgunaan dari berbuat tidak adil terhadap anak yatim.

Pada satu sisi al-Qur’an membatasi jumlahnya sampai empat orang, disisi lain adanya tanggung jawab ekonomi untuk menafkahi istri akan dapat mengimbangi tercampurnyaharta anak yatim melalui tanggung jawab managemen. Inilah yang sering dilupakan oleh para pendukung poligami yaitu bahwa keberadaan ayat ini adalah dalam rangka perlakuan adil terhadap anak yatim.

Amina berpendapat ada beberapa alasan dalam berpoligami yang bias gender, bahkan alasan-alasan tersebut jelas tidak pernah ada dalam al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pembolehan poligami itu sendiri. Alasan-alasan yang dimaksud adalah, pertama alasan finansial, kedua istri mandul, ketiga memenuhi kebituhan seks laki-laki yang tinggi.

Demikian pandangan Amina Wadud tentang tidak diperbolehkannya poligami karena memang alasan-alasan yang selama ini diyakini tidak pernah ada dalam al-Qur’an.

5

persaksian

Q.S al-Baqarah/2: 282

واستثهدوا شهيدين من رجالكم فان لم يكونا رجلين فرجل وامرأتن ممّن  ترضون من الشّهداء أن تضلّ احدىهما فتذكّر احدىهماالأخرى ولا يأب الشّهداء اذا ما دعوا

Muhammd Quraish shihab mengenai ayat tersebut menjelaskan bahwa kata saksi yang digunakan ayat ini syahiidaini bukan syaahidaini ini berarti saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada yakni kalau bukan dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. M. Quraish Shihab mendefinisikan saksi sebagai orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara aktual telah menjadi saksi. Jika anda melihat suatu peristiwa, katakanlah tabrakan, maka ketika itu anda telah berpotensi memikul tugas kesaksian, sejak saat itu anda dapat dinamai saksi walaupun belum lagi melaksanakan kesaksian itu di pengadilan. Selanjutnya, mengapa kesaksian dua orang laki-laki seimbang dengan satu laki-laki dan dua orang perempuan?, menurut Quraish Shihab, persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang ugas utama perempuan dan fungsi utama yang dibebankan atasnya. Aminah Wadud, seorang tokoh feminis, menyampaikan pandangannya mengenai maksud ayat tersebut diatas. Menurutnya, bahwa dua orang perempuan sebagaimana tersebut dalam ayat, bukan dua-duanya bertindak sebagai saksi. Namun, dari dua orang perempuan, salah seorang diantaranya ditunjuk untuk mengingatkan satunya lagi. Yang disebut belakangan bertindak sebagai saksi sementara yang depan bertindak sebagai teman kerja sama (kolaborator). Jadi meskipun perempuan itu ada dua, masing-masing berbeda fungsinya.

Lebih lanjut Amina Wadud menegaskan, pembatasan mengenai transaksi finansial ini tidak berlaku pada persoalan  lain. Permintaan akan dua perempuan dan satu laki-laki untuk menjadi saksi perjanjian finansial bukanlah peraturan umum untuk partisipasi perempun, bahkan tidak untuk semua kesaksian. Permintaan lain untuk saksi hendaknya tidak dikaitkan dengan kelompok gender tertentu. Jadi, demikian Amina Wadud berkesimpulan, siapa saja yang dianggap mampu menjadi saksi berhak menjadi saksi.

Keterangan:

–          Tafsir tahlili adalah suatu metode penafsiran al-Qur’an yang menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung didalam ayat-ayat al-Qur’an, sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat di dalam mushaf ‘usmani. Metode ini lazim juga disebut dengan metode tajzi’i, karena pembahasannya berdasarkan bagian-bagian tertentu dari al-Qur’an. Sebagai metode yang digunakan oleh jumhur ulama’, maka metode ini dominan sekali pengaruhnya di dalam masyarakat.  Salah satu ciri metode ini adalah menjadikan teks sebagai fokus perhatian. Dalam menganalisa sebuah kasus, perhatian utama langsung tertuju kepada apa bunyi  teks terhadap kasus tersebut, bukan apa dan bagaimana kasus kasus itu hingga terjadi.

–          Tafsir feminis adalah Rekonstruksi yang dilakukan dengan jalan menafsirkan kembali teks-teks al-Qur’an yang berkaitan dengan wanita yang selama ini sering ditafsirkan dengan nada misoginis (yang menunjukkan kebencian kepada perempuan/merendahkan perempuan). Mereka melakukan penulusuran terhadap teks-teks al-Qur’an dan hadis yang bias gender dengan melihat asbab nuzul (sebab turunnya ayat) dan asbab al-wurud (sebab hadis dikeluarkan).


[1] H. Anshari LAL. Penafsiran Ayat-Ayat Gender Menurut Muhammad Quraish Shihab, (Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008), h. 107

Tinggalkan komentar