Relasi Gender dalam Agama Buddha

Responding Paper Topik 12

Oleh : Lailatul Fawaidah
1. RELASI GENDER DALAM AGAMA BUDDHA
Kondisi masyarakat India pada masa pra-Buddha diwarnai oleh perlakuan yang diskriminatif atas kasta dan gender. Salah satu ajaran Brahmanisme yang sangat seksis mengatakan bahwa hanya keturunan laki-laki yang berhak melaksanakan ritual penyucian pada saat upacara kematian orang tua mereka (baca = ayah), dan akan mengangkat ayah mereka masuk ke alam surga. Perempuan tidak berhak dan diyakini tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan orang tua mereka.
Dalam kehidupan bermasyarakat, Sang Budha tidak membedakan peran serta laki-laki dan perempuan, mereka mempunyai peran yang setara dan adil, seperti juga laki-laki, seorang perempuan dapat menjadi majikan, atasan atau guru (Brahmana) sesuai dengan khotbah Sang Budha.
Mengacu pada perkembangan Budha Dharma 2555 tahun yang lalu, pemberdayaan dan kemitraan perempuan telah diperjuangkan dan ditumbuhkembangkan oleh Sang Budha. Hal ini dapat di kaji dari kisah-kisah siswa Budha yang sebagian adalah perempuan dan diterangkan pula bahwa perempuan membawa peran penting dalam perkembangan agama Budha.
Kesetaraan gender dalam Agama Budha didasari kewajiban dan tanggung jawab bersama dalam rumah tangga dan adanya kehendak bersama dalam menjalankan kehidupan berumah tangga, menurut Agama Budha, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di atas bumi ini, dan dia dapat terlahir sesuai dengan karmanya masing-masing, sehingga kedudukan laki-laki dan dan perempuan dalam Agama Budha tidak dibicarakan sebagai sesuatu yang bermasala. Agama Budha membimbing umatnya kepada lebih menghargai gender.
Dalam paninivana Sutta Sang Budha mengatakan, seluruh umat manusia tanpa tertinggal memiliki jiwa Budha. laki-laki dan perempuan mempunyai tugas hidup yang agung, karenanya agar terjadi keseimbangan dalam menjalankan kiduan fungsi kehidupannya, maka keduanya mempunyai karakter yang tampak berlawanan padahal justru dari hal inilah muncul keseimbangan.

a. Status Perempuan dalam ajaran Agama Budha
Dalam agama Buddha, konsep keadilan gender secara tersirat terdapat dalam kitab Tripitaka. Didalam Sigalavada Sutta, Sang Gotama telah memaparkan patokan bagi umat Buddha untuk melaksanakan pergaulan dengan umat manusia yang berbeda kelompok, kedudukan dan perannya. Menurut agama Budha, karakteristik semua manusia adalah sama, baik ketika lahir dan selama masih hidup mereka. Umat manusia hadir dalam dua gender dan kedua gender sama-sama manusia. Pesan yang Budha umumkan secara universal berlaku dan bermanfaat bagi umat manusia secara keseluruhan.
Kemuliaan seseorang tidak berasal pada kelahirannya yang berjenis kelamin atau dari keturunan (kasta) tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan. Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak dapat menyucikan batin dan membebaskan seseorang dari samsara; oleh karenanya, salah satu keyakinan yang mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat menyucikan orang tuanya setelah mereka meninggal adalah tidak benar.
Buddha menegaskan potensi pencapaian spiritual yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan asal tekun melatih diri dengan menyempurnakan: Sila (moralitas), Samadhi (konsentrasi), dan Pañña (kebijaksanaan). Tidak ada bias gender atau seksisme dalam ‘ajaran Buddha yang fundamental dan universal.
Setelah Buddha meninggal timbul pandangan bahwa kelahiran sebagai perempuan lebih rendah karena karma buruk telah hilang sebelumnya. Jadi ada anggapan bahwa sampai saat ini kelahiran sebagai perempuan sebagai karma buruk masa lampau dibanding kelahiran sebagai laki-laki. Dikitab Jataka Pali (cerita kehidupan Buddha Gotama saat menjadi Bhodisatwa) Bhodisatwa tidak pernah terlahir sebagai perempuan, padahal sebagai hewan ada dalam cerita tersebut.
Budha menginginkan kaum perempuan terbebas dari penderitaan, jangan menyerah terhadap naluri mereka yang melemahkan, beliau menciptakan kondisi bagi kaum perempuan untuk masuk ke jalur kebijaksanaan dan setuju bahwa perempuan mampu untuk mencapai tingkat arahat. Dalam winaya pitaka menjabarkan tentang disiplin bagi para bhiksuni dan institusi pada masa itu.
Semua teks pali ini merupakan sumber untuk memahami hakikat perempuan dalam tradisi theravada, jelas bahwa pada jaman Budha, ada banyak kasus perempuan dari berbagai golongan masyarakat yang menjdi bikhuni dan jelas beberapa dari mereka meraih tingkatan arahat.
b. Peran Perempuan dalam Sejarah Perkembangan Agama Buddha.
Dalam bidang bermasyarakat, Sang Buddha tidak membedakan peran serta laki-laki dan perempuan. Mereka mempunyai peran yang setara dan adil. Seperti juga laki-laki seorang perempuan juga dapat menjadi majikan, atasan atau guru (Brahmana) sesuai dengan khotbah Sang Buddha.
Mengacu pada perkembangan Buddha Dharma 2555 tahun yang lalu, pemberdayaan dan kemitrasejaajaran perempuan telah diperjuangkan dan ditumbuh kembangkan oleh Sang Buddha. Hal ini dapat dikaji dari kisah-kisah siswa Buddha yang sebagian adalah perempuan dan diterangkan pula bahwa perempuan membawa peran penting dalam perkembangan agama Buddha.
Dalam naskah Budhis Mahayana banyak ditemukan contoh-contoh perempuan yang dilukiskan sebagai Bhodisatwa yang maju yang mampu mencapai pencerahan. Kita juga menemukan beberapa ketidak jelasan antara Bhiksuni dan wanita Budha awam. Beberapa kisah yang terkenal dalam Sutra Sadharmapundarika, Sutra Wirmalakirtinirdesa, Sutra Astasahasrika Prajnaparamita, dan Sutra Sirmalasimhanada menggambarkan umat awam wanita, kadangkala bahkan anak-anak perempuan berusia delapan tahun, yang menguasai doktrin yang mendalam terlibat dalam praktik Bhodisatwa.
c. Reinterpretasi dan Adaptasi Peran-Peran Gender Tradisional
Dalam Buddha Mahayana terdapat berbagai macam tradisi-tradisi kecil.Sebagian pemikir Mahayana mengangkat kaum perempuan sehingga dalam Jataka Cina dapat ditemukan Bhodisatwa yang terlahir sebagai perempuan sebelum akhirnya terlahir sebagai laki-laki yaitu Buddha Gotama.Namun, hal tersebut dirasa tidak sesuai dengan ajaran Buddha sehingga pada akhirnya lahir konsep Buddha perempuan di Cina yang terwujud dalam Avalokiteswara dalam bahasa Cina disebut Guan-Yin.
Untuk memebuat kesejajaran gender dikembangkan konsep Bhodisatwa. Bodisatwa mempunyai pengertian yang lebih luas daripada Bhodisatta yaitu orang yang mampu menjadi Buddha namun tidak langsung memasuki nirwana, tetapi mengabdikan dirinya demi orang lain. Jadi Bhodisatwa bukan hanya ada satu orang seperti halnya dengan Bhodisatta.Evolusi Bhodisatwa Guan-Yin menjadi perempuan juga memberikan dampak kehormatan terhadap perempuan dan memberikan arti bahwa perempuan juga bisa menjadi Buddha.

Daftar Pustaka :
Dewaraja, L.S. 1981. The Position of Women in Buddhism, (Sri Lanka: Buddhist Publication Society),

Konsep _Dasar_ Genser. Pdf. H. 32 Di unduh pada tanggal 25, noember 2013 pukul 18.00 WIB

Jani Tandi Wiharja, “MEMPERTEMUKAN DUNIA suara-suara wanita budha lintas generasi” . hlm 173

http://dhammacitta.org/artikel/diskriminasi-perempuan-buddhis/ (diunduh pada tgl11 sepetember)
http://dhammacitta.org/artikel/diskriminasi-perempuan-buddhis/

Tinggalkan komentar